Minggu, 27 November 2011

GERIMIS

14 Januari 2005,
Dia diam. Hanya badannya yang bersandar di tembok sesekali terguncang pelan. Ada danau menggenangi matanya. Ya, dia menangis diam-diam.
Sudah hampir dua jam aku merayunya berbicara. Namun, seberapa kalimat yang meluncur dari bibirku, selama itu pula ia memilih tak berbicara.
jujur aku bingung. Bibir mungilnya yag terbiasa ramai oleh bunyi kini terbungkam rapat tanpa suara. “Berceritalah..!” pintaku. Tetap tak tersahuti.
“Katakan di pucuk pohon mana kau menginginkan kita bercinta?” tanyaku menggodanya.
Mendengar kalimat itu, sebentar matanya menantang mataku. tapi, hanya sebentar. Kami memang tak pernah benar-benar berani bercinta. setumpuk firman dalam kitab suci masih cukup untuk menakut-nakuti kami berdua bila melakukannya. Sederet nilai seolah menjadi jangkar yang memberati pikiran untuk meyakini bahwa hal kayak gitu mah biasa.. Bercinta di atas pohon tertinggi adalah imajinasi terliar yang pernah kami obrolkan. Hahaha, sungguh diskusi dua orang penakut.
Dia masih saja diam.
Sementara di luar, gerimis mulai turun. Sesekali tempias airnya masuk melewati lubang jendela kamarku yang tak tertutup rapat.
Kulirik jam dinding, sudah pukul 17.13 WIB. Beberapa jam sudah berlalu sejak ia datang dalam diam. Aku sudah mulai kelelahan merayunya berbicara. Aku pun sudah hampir kehilangan kalimat-kalimatku sendiri. Aku mulai…
tiba-tiba saja dia berbicara “Aku hamil…tidak denganmu. tapi orang lain”
di luar masih saja gerimis..
......................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................................................
13 January,
Sebuah pesan singkat tiba2 muncul dalam inbox HP-ku.
"Kutunggu di taman yang dulu, jam lima sore ini. Salam. Alana"
Aku masih tak percaya. Kuulangi sekali lagi membacanya. Masih sama. Tak ada satu pun huruf yang berubah.
Tanpa bermaksud merendahkan kemampuan teknologi aku mencoba mengamankan perasaanku dengan berusaha tak percaya.
Bagaimana mungkin Alana tiba-tiba muncul lagi dalam kehidupanku.
Telah tiga tahun aku mencoba mengubur segala ingatan tentangnya.
Let the dead is dead. Yang mati biarlah mati.
Aku berusaha kembali menekuri pekerjaanku yang nyaris terancam deadline. Tinggal satu halaman saja, maka aku bisa menyetorkannya pada redaktur sore ini juga.
Tak terlampau susah buatku untuk menyelesaikannya. Semua sudah ada di kepala.
Sedetik, dua detik, semenit, merambat satu jam.
Tanganku tiba-tiba terasa tak bisa bergerak. Dua puluh enam simbol alphabet ditambah 10 angka dan ikon-ikon lain dalam tuts keyboardku seolah hilang arti.
Bahkan tiba-tiba 17 inch layar monitor di depanku langsung menjelma dirinya. A L A N A...Ah, pesan yang dikirimnya sore ini tak kusadar telah mendera batin.
Ingatan kembali tentangnya kurasa bagai pukulan emosional yang nyaris tak terlawan.
Mungkin seperti ini rasanya ketika Superman bertemu hijau batu krypton?Arrgghh...mengapa aku masih saja seperti ini.Alana adalah kosong.
Nama dan bayangannya telah kubunuh bertahun-tahun lalu.
Aku memang telah memaafkan segala pengkhianatannya. Walau sangat berat aku berusaha menaruh egoku di koordinat terbawah waktu itu.
Ia hamil dengan orang lain. Ia tak pernah mau pernah mau bercerita siapa lelaki itu. Bahkan, sampai akhirnya ia pergi menghilang aku tetap tak mampu marah.
Pergilah dengan semua cinta yang kau punya. Biarkan aku berjalan semampunya dengan mengumpulkan sisa-sisa patahannya. Getirku sudah lenyap.
Sebab, kegetiran yang bertumpuk-tumpuk tak akan terasa lagi sebagai kegetiran. Ia hanya akan menjadi rasa yang biasa.Sudah jam lima lebih lima menit. Jika harus datang menemui Alana sore ini aku telah terlambat. Aku tak peduli. Ruang dan waktu hanyalah buatan manusia. Sementara rasaku adalah adikarya Tuhan yang bahkan tak diberikan-Nya kepada malaikat sekalipun.Tak sampai sepuluh menit aku telah tiba di taman.
Taman akasia tempat kami dulu sering menghabiskan hari. Aku berjalan menuju bangku kosong di bawah pohon akasia terbesar di pojok kiri taman. Tempat duduk favorit kami.
Aku duduk sendirian. Alana belum datang.
Alana bukan lagi kosong.
Sore ini ia berubah wujud menjadi teka-teki silang buatku.
Pertanyaan demi pertanyaan muncul tanpa jawaban.
Apa kabarnya?
Apakah yang diinginkannya dariku sore ini?
Masih kah wajahnya yang tirus membius itu mampu memompa adrenalinku?
Entahlah...Sedetik, dua detik, semenit merambat satu jam.
Alana belum juga datang.satu jam, dua jam, tiga jam. Alana belum juga hadir melegakan penantianku.
Gerimis mulai turun menemani malam yang semakin menua.
Sudah lima jam aku menunggu di bangku taman ini.
Sendiri.Akhirnya aku berdiri.
Berjalan menerobos gerimis.
Meninggalkan kosong, menuju pasti.Walau malam gerimis...

......................................................................................................................................................................
.......................................................................................................................................................................
14 January 2008,
Seseorang tiba-tiba menepuk pundakku pelan.
“Mari kita pulang. Biarkan dia istirahat dengan tenang”.
Aku menoleh, lalu mengangguk.
“Bukan hanya kamu yang merasa kehilangan. Tapi, sudahlah. Dia telah memilih jalannya sendiri,” ujar ayah Alana sambil tetap memegangi pundakku.
Aku berdiri, kemudian mengiringinya meninggalkan pekuburan tempat Alana baru saja ditanam.
Belum genap lima meter berjalan memunggungi kuburan, aku sudah diburu rindu. Kusempatkan lagi menengok gundukan tanah basah tempatnya menjalani tidur panjang tanpa mimpi.
Tiba-tiba saja aroma kamboja meruap. Lembut.
Dalam sedetik seluruh pekuburan menjelma putih kapas.Aku tergeragap. Ah, malaikat memang tak pernah mau hadir terlambat. Ia selalu datang dan beruluk salam pada penghuni baru, tepat setelah langkah ketujuh pelayat terakhir meninggalkan makam

-----------------------------------------------
14 January 2008, 17.13 WIB
Daun-daun akasia yang berwarna kuning banyak berjatuhan.
Ia seolah mengabarkan kelelahan bertahan menghadapi kemarau yang membakar dan tak putus-putus.
Senja ini aku duduk sendiri di bangku taman akasia.
Satu demi satu kubuka tiap lembar halaman buku harian Alana.
“Sebelum masuk rumah sakit jiwa Alana tak sekecap pun mau berbicara. Dia hanya menulis. Rupanya ada banyak hal yang ingin disampaikannya kepadamu. Ambillah! Kamu lebih berhak untuk menyimpannya,” ujar mama Alana ketika aku mampir ke rumahnya seusai pemakaman.
Membaca buku harian Alana membuat kesedihan tumpah ruah. :

7 Desember 2004 (malam jahanam)
Tuhaaaaan!!!!!! Takdir macam apa ini?????KAU biarkan bajingan bajingan itu mengobrak-abrik kehormatanku, menindas kemanusiaanku. Apa salahku????? Bukankah KAU yang berkehendak menjadikanku perempuan???? Kenapa KAU relakan orang-orang itu melecehkan martabat yang sudah kujunjung tinggi-tinggi???? Aku benci KAU Tuhan. Aku benci Tuhan yang telah membiarkanku diperkosa.

30 Desember 2004
Lihat, lihatlah...aku mual-mual tanpa ampun. Jangan...Jangan sampai aku hamil oleh benih para jahanam itu. Tolong Tuhan, sekali ini saja dengar dan kabulkan permintaanku!

31 Desember 2004
Fucking Pregnant...!!!!!!!!!!

1 Januari 2005
Resolusi awal tahun: Bunuh Diri

14 Januari 2005
Menatap mata teduhmu sore tadi membuatku luluh lantak. Mengingat caramu merayuku berbicara seperti menahan rasa perih sebab tertikam tepat di ulu hati. Aku mencintaimu. Sebab itu kalimatku tak pernah sampai. Aku tak pernah tega mengabarimu yang sebenarnya. Aku ingin kau membenciku. Karena itu bisa mengeruk perasaan bersalahku yang bergunung-gunung kepadamu. Aku ingin kau membenciku, seperti aku membenci takdir yang berjalan buruk.

8 Januari 2005
Aku masih mencintai gerimis, dan membenci badai.

13 Januari 2005
Virginia Wolf membunuh dirinya sendiri dengan mencebur ke dalam sungai. Hitler tewas setelah menembak kepala sendiri di lubang persembunyiannya. Cak Sakib tetangga sebelah rumah mati dikeroyok massa karena dituduh dukun santet. Ustadz Rojil mengembuskan penghujung nafasnya saat sujud salat di musala rumahnya. Adakah bedanya bagiku? Tidak ada! Kematian sesungguhnya peristiwa biasa. Kecuali ia menimpa orang-orang dekat kita.

18 Januari 2005
Janin dalam rahimku tumbuh bersama kebencianku pada hidup.

21 April 2005 (Saat aku ragu apa gunanya menjadi perempuan)
Ini hari kartini. Sudah seminggu aku tergolek di rumah sakit, Mama memergoki dan menggagalkan usahaku bunuh diri. Aku tetap hidup, tapi janinku mati.

18 Agustus 2005
Lucu. orang-orang menganggapku mulai gila. Padahal, sungguh aku tidak apa-apa. Aku hanya muak pada garis dunia yang tidak berpihak kepadaku.

19 Maret 2007
Dear Ma.Li.K.
Tiba-tiba aku kangen kamu. Aku ingin menangis tapi tak bisa. Mungkin juga sudah tak perlu. Aku ingin kita bertemu di taman yang dulu,tapi tak bisa. Mungkin juga sudah tak perlu. Tahukah kau betapa sakitnya terpuruk pada keinginan yang tak sampai. Aku menyintaimu lebih dari sekedar yang bisa aku lakukan.
Alana.

21 Mei 2008
Hari ini aku masuk rumah sakit jiwa. Bukankah itu artinya aku sudah benar-benar gila??!!! Hahahahaha. Sungguh aneh orang-orang itu. Kamu percaya bahwa aku tidak gila kan?

28 Oktober 2008
Bisa jadi cinta memang buta, tapi kita tidak. Aku ingin memilihmu menjadi pengantinku di surga nanti. Kamu mau?

14 January 2008
Hari ini dia ulang tahun. Sejak pagi tadi aku sudah mandi.
Perawat rumah sakit memujiku cantik.
Iya, aku memang sengaja berdandan paling cantik hari ini.
Bukan untuk meniup lilin ulang tahun, tapi untuk pulang menuju Tuhan.
Dua hari lalu aku sudah berhasil mendapatkan arsenik yang kupesan pada tukang es cendol yang biasa mangkal di luar zaal rumah sakit jiwa.
Aku yakin racun itu akan menjadi menara Babel yang undakannya bisa mengantarku ke surga.Dunia, selamat tinggal.


Kututup buku harian Alana. Kurapalkan doa buatnya.
Lalu, kutinggalkan bangku taman akasia bersama gerimis yang tiba-tiba datang bersama semerbak kamboja.
Selamat sore Alana...

Rabu, 09 November 2011

Came on listen up I got say



Came on listen up
I got say:
Mungkin ini hebat dan sedikit nekat
Ku ingin kenal wajah manismu yang memikat
Mulai dari mata dan merasuk dihati
Semua terasa berbeda di dalam hidup ini

Tapi mulai terasa, mulai sesak di dada
Karena ku tau kau memang sudah ada yang punya
Tapi ku tak peduli 
Ku tak ciutkan nyali

Mulai dekat dengan mu, pengen jalan bersama
Mungkin ini yang dibilang rasa cinta pertama
Walau harapan kosong, masa depan pun gak ada
Tak perlu ucap janji, biar waktu bicara
Karena semua rasa cinta milik kita berdua

You may listen to me:
Posisiku memang gak penting
Apalagi statusku yang tambah pusing
Karena ku tau kau ada untukku
Buatku ku tersenyum
Dan berikan harapan baru semua untukku

Sekilas kita seperti telah bersama
Tapi kisah cinta ini akan berakhir dengan ramah
Tak perlu tangisi, tak perlu sesali
Karena semua kenangan ini kan menjadi bukti

Untukmu ,buatku
Dan semua tentang kita
Disaat waktu kan tiba
Dan aku mulai merasa

Kehilangan mu
Hilang senyum manis mu
Memang berat buat ku
Meski bukan milik ku

You know what:
Begitu banyak hari-hari yang ku lewati
Bersamamu, bergandeng tangan, mengucap janji
Untuk jalani kisah tersembunyi
Tak perlu orang tau semua ini terjadi

Dan bila kau temukan jodoh mu esok nanti
Ucap maaf dariku bukan benci untukmu
Bukan maksud mengganggu
Adakah ku untuk mu
Cinta perlu berkorban
Tak perlu ku sesali

Ku lakukan semua tulus
Tanpa perih pedih
Karena ku tak memaksa jika merasa cinta
Kejutan rasa itu murni dari dalam dada
Bukan karena kasihan atau semua terpaksa
(know what)


Oke yeah:
Mungkin maaf dan ampun, lebihi apapun
Dan kau memilih dia karena kau suka
Bukan soal cinta yang dulu pernah kau punya
Karena ku tak bisa tak seperti yang kau minta

Jika drama ini telah berakhir dan ku coba
Ikuti jalan hidup ini sampai ku bisa
Hanya satu nama yang terukir jelas di kepala
Cantik tampilmu ...... selalu kujaga didalam dada


(^^,)