Pendaki Everest Pertama Asal Indonesia Depresi
Tidak adanya pengakuan dan penghargaan yang layak atas prestasi membuat atlet pendaki wanita Indonesia pertama yang menancapkan Merah Putih di Puncak Everest, Clara Sumarwati, mengalami depresi. Clara kini harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa Dokter Suroyo, Magelang, Jawa Tengah.
Pada 1996 nama Indonesia diharumkan dengan pendakian puncak Everest oleh para atlet pendaki bersama tim Komando Pasukan Khusus TNI Angkatan Darat. Salah seorang pendaki dalam misi pengibaran Merah Putih di puncak Everest ini adalah seorang wanita bernama Clara Sumarwati asal Yogyakarta.
Namun sayang, meski mengantongi prestasi sebagai wanita Indonesia pertama yang menancapkan Merah Putih di puncak Everest, Clara tidak mendapat penghargaan yang layak. Hanya bintang Nararya dari Presiden Soeharto yang didapatkan. Selebihnya tidak ada sama sekali. Sakit hati Clara makin menjadi ketika sejumlah pihak termasuk pemerintah menyangsikan prestasinya karena tidak ada bukti. Lapangan pekerjaan yang dijanjikan pun tak kunjung ia dapatkan.
Bukan kali ini saja Clara mendapat perawatan kejiwaan karena depresi. Pada 1997 dan 2000, wanita berusia 35 tahun itu juga mendapat perawatan yang sama. Menurut dokter, gangguan kejiwaan yang dialami Clara disebabkan rasa kecewa berat karena prestasinya tidak dihargai.
Setelah tiga bulan dirawat di RSJ Dokter Suroyo akhir September lalu, kondisi Clara mulai membaik. Namun kini kembali terguncang setelah mendengar kabar kerabat dan masyarakat di sekitarnya tidak mau menerimanya lagi.
NASIB MALANG PEREMPUAN PERTAMA INDONESIA PENAKLUK EVEREST
Semangat besar penuh gelora bagi seorang pendaki untuk menaklukkan suatu puncak gunung adalah hal yang wajar, namun semangat tersebut harus dilandasi dengan mental yang kuat agar nantinya tidak terjadi kekecewaan.
Semangat besar seorang perempuan kelahiran Yogyakarta 9 Juli 1965, Clara Sumarwati, telah mengantarkannya menaklukkan puncak Gunung Everest, Nepal, namun nasibnya kini kurang beruntung karena dia harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Prof. dr. Soerojo Magelang akibat gangguan jiwa yang dideritanya.
Clara merupakan perempuan warga Indonesia dan Asia Tenggara pertama yang berhasil mencapai puncak Gunung Everest berketinggian 8.848 meter di atas permukaan air laut pada 26 September 1996.
Perempuan lajang lulusan Psikologi Pendidikan Universitas Atmajaya Jakarta ini merupakan pasien kambuhan yang sudah tiga kali menjalani perawatan di RSJ Magelang. Gangguan jiwa yang dideritanya beberapa kali kambuh karena dia tidak rutin mengonsumsi obat yang dianjurkan dokter.
Clara menjalani perawatan pertama di RSJ Magelang pada 1997, waktu itu dia mengalami gangguan jiwa cukup parah. Di lingkungan tempat tinggalnya di kawasan Minggiran MJ II Yogyakarta, dia dikenal sering marah dan mengamuk jika sedang kambuh.
"Ketika pertama masuk ke RSJ, dia masih sering mengamuk tidak terkendali," kata Kepala Humas RSJ Prof. Dr. Soerojo Magelang, Syaiful Hadi.
Semula di lingkungan RSJ tidak ada yang percaya Clara sebagai sosok wanita petama dari Indonesia dan Asia Tenggara yang pernah menaklukkan Mount Everest. Meskipun berkali-kali Clara menceritakan perihal dirinya pada perawat dan dokter, namun tidak satu pun dari mereka yang mempercayai.
Hal tersebut diakui Rida Utami, seorang perawat di Bangsal W3/Wisma Drupadi, di mana Clara menjalani perawatan. Rida mengaku kerap menjadi tempat curahan hati bagi pasiennya Clara.
"Clara sering bercerita tentang sejumlah pendakiannya, termasuk ketika dia mencapai Mount Everest dan berhasil menancapkan Bendera Merah Putih di sana," katanya.
Namun, pihak rumah sakit hanya mengganggap pengakuan Clara sebagai angin lalu saja dan menganggap hal itu sebagai obsesi seorang yang sedang mengalami gangguan jiwa.
Cerita Clara hanya dianggap sekadar omongan orang yang mengalami gangguan jiwa. Hal ini diakui Direktur RSJ Magelang, Djunaedi Tjakra Werdaya.
"Memang berkali-kali Clara menceritakan prestasinya itu, namun semua cerita itu hanya kami tampung, tetapi tidak ada yang percaya," katanya.
Pengakuan Clara yang mempunyai prestasi dan keberadaannya sebagai sosok istimewa yang pernah mengharumkan nama Bangsa Indonesia baru terungkap beberapa hari lalu ketika ada tim penilai pemuda pelopor dari Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga datang untuk menilai Poppy Safitri, wakil kontingen Jawa Tengah untuk lomba pemuda pelopor tingkat nasional.
Salah satu aktivitas Poppy adalah mengajar tari di RSJ Magelang. Dalam kunjungan ke RSJ itulah, salah satu anggota tim yakni Deputi Menpora Hamzah mengenali sosok Clara. Hamzah pun terkejut menjumpai Clara yang dikenalnya sebagai pendaki hebat andalan Indonesia, yang ternyata menjadi pasien RSJ. Dari pertemuan itulah akhirnya pihak RSJ percaya pengakuan Clara selama ini.
"Dengan pertemuan tersebut, menambah keyakinan kami bahwa Clara sudah sembuh karena bisa menceritakan dengan benar segala sesuatu yang pernah dialaminya," kata Djunaedi. Frustrasi berkepanjangan
Menurut dokter yang merawatnya, dr. Hariyono Padmosudiro SpKJ, Clara telah dirawat di RSJ Magelang sejak 30 Juni 2009. Dia telah menjalani perawatan di RSJ Magelang untuk ketiga kalinya, pertama pada 1997 dan kedua tahun 2000.
Menurut dia, Clara mempunyai gangguan ke arah paranoid, dia selalu diliputi rasa curiga yang tidak berdasar dan tidak realistis pada lingkungan bahkan cenderung mengganggu lingkungan sosial.
"Meskipun tidak ada apa-apa, tetapi dianggapnya ada orang yang mau mencelakakannya," katanya mencontohkan.
Pemicu kondisi tersebut, katanya, antara lain dia mempunyai prestasi tetapi dirasakannya tidak ada orang yang menghargai atau mempercayainya, sehingga dia merasa frustrasi berkepanjangan.
"Berdasarkan data yang kami miliki tidak ada faktor keturunan. Rasa kecewa sebagai pencetus meskipun ada latar belakang sebelumnya berupa mental yang rapuh," katanya.
Ia mengatakan, sebenarnya kondisinya sekarang sudah baik, bisa berperilaku sosial dengan bagus. Secara klinis medis sudah bisa dipulangkan, tetapi keluarga dan masyarakat belum mau menerimanya.
Hariyono berharap keluarga dan masyarakat sekitar tempat tinggalnya mau menerimanya, namun mereka mungkin mempunyai trauma masa lalu sehingga belum bisa menerima kehadirannya.
"Petugas kami akan berusaha meyakinkan mereka, bahwa Clara sudah bisa berperilaku sosial dengan baik, dan hal ini perlu mendapat dukungan dari keluarga maupun masyarakat," katanya.
Clara mengungkapkan, penyakit yang dideritanya disebabkan oleh kekesalan dan kekecewaannya yang bertumpuk selama ini, salah satu kekecewaannya karena tidak ada penghargaan dari pemerintah atas prestasinya.
"Bahkan, saya pernah mengajukan surat keterangan resmi dari pemerintah bahwa saya merupakan warga negara Indonesia, tetapi sampai sekarang tidak pernah diberikan. Padahal surat itu penting bagi saya untuk mencari sponsor di luar negeri untuk melakukan pendakian ke tujuh puncak gunung yang menjadi cita-cita saya," katanya.
Ia juga mengungkapkan kekecewaannya kepada seorang Komandan Kopasus waktu itu yang telah menjanjikan akan memberikan hadiah rumah dan mobil setelah berhasil melakukan pendakian ke puncak Everest, namun hingga sekarang janji itu tidak pernah terwujud.
Selain itu, katanya, lingkungannya tidak ada yang percaya bahwa dirinya seorang pendaki yang pernah menaklukan puncak Everest.
"Padahal, ketika pendakian yang disponsori panitia 51 Tahun Kemerdekaan RI itu saya membawa lima orang saksi dari asosiasi pendaki Nepal. Hanya saja, pendokumentasiannya lemah, sehingga tidak ada yang percaya. Namun, tetap ada dokumentasinya, videonya juga masih ada di rumah," katanya.
Menurut dia, penyakitnya itu juga disebabkan dirinya pernah membuka masker oksigen ketika sampai di puncak Everest pada ketinggian. "Waktu membuka masker walaupun sebentar, nafas terasa tertekan dan ada rasa berat di bagian kepala. "Sampai sekarang, kalau tidak mengonsumsi obat, saya sering merasa tidak sanggup mengontrol diri," katanya.
Putri keenam pasangan Markus Mario (alm) dan Ana Sumarwati ini masih mempunyai keinginan untuk menaklukkan sejumlah puncak gunung di dunia ini, antara lain Gunung Vinson di Antartika, Kalimanjaro di Afrika, Kinley di Amerika, dan puncak Cartens Jayawijaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar